Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
banner 160x600
banner 160x600
banner 970x250
HUKRIMOPINI

Justice Collaborator dan Masa Depan Penegakan Hukum Indonesia

×

Justice Collaborator dan Masa Depan Penegakan Hukum Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: R. Darda Syahrizal, S.H., M.H.*

Upaya menindak kejahatan terorganisir di Indonesia selama ini kerap terhambat oleh ketimpangan informasi dan keterbatasan alat bukti. Banyak perkara besar (mulai dari korupsi berjemaah hingga narkotika lintas negara) terhenti pada pelaku lapangan, sementara aktor intelektual tetap berada di luar jangkauan hukum.

banner 300x600

Dalam konteks inilah, peran justice collaborator (JC) menjadi sangat strategis. Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yg bersedia bekerja sama dgn aparat penegak hukum untuk mengungkap kejahatan lebih luas. Mereka bukan sekadar saksi, melainkan pengungkap jalur sistemik yg kerap tersembunyi di balik struktur kekuasaan.

Namun selama ini, posisi JC tidak memiliki kepastian hukum yg memadai. Banyak dari mereka diproses dan dihukum setara dgn pelaku utama, bahkan dalam beberapa kasus, justru menghadapi tekanan lebih besar. Tanpa jaminan perlindungan dan penghargaan, keberanian untuk bersaksi menjadi mahal dan langka.


PP Nomor 24 Tahun 2025: Instrumen Baru yg Dibutuhkan

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 menjadi langkah penting untuk menjawab kekosongan tersebut. Regulasi ini hadir sebagai pelaksanaan Pasal 10A UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di dalamnya diatur secara teknis mengenai:

definisi dan ruang lingkup justice collaborator,

tata cara pengajuan dan verifikasi,

bentuk perlindungan dan penghargaan yg dapat diberikan, serta

mekanisme evaluasi oleh LPSK bersama aparat penegak hukum.

Dengan hadirnya PP ini, posisi JC kini memiliki dasar hukum yg jelas, dan aparat penegak hukum pun memiliki rujukan yg sah dalam memberikan perlindungan maupun keringanan bagi pelaku yg kooperatif.


Evaluasi dari Kasus-Kasus Sebelumnya

Kita tidak bisa melupakan contoh-contoh penting yg menunjukkan bagaimana ketiadaan perlindungan hukum terhadap JC bisa berujung pada kegagalan penegakan keadilan secara menyeluruh.

Muhammad Nazaruddin, eks Bendahara Umum Partai Demokrat, mengungkap banyak nama dan skema korupsi, namun tetap divonis berat dan tidak mendapat perlindungan memadai.

Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkotika, pernah mengungkap dugaan keterlibatan oknum aparat dalam peredaran narkoba. Namun pengakuannya tidak dikembangkan lebih jauh, dan eksekusi tetap dijalankan.

Dalam kasus Ferdy Sambo, publik menyaksikan betapa rumitnya pemetaan aktor dan motif. Tanpa mekanisme JC yg kuat dan terlindungi, proses pembongkaran perkara seperti ini sangat rawan manipulasi dan tekanan dari dalam.

Menurut Laporan LPSK 2022, dari 71 permohonan status JC, hanya 18 yg dikabulkan penuh, dan hanya 5 yg mendapatkan perlindungan berkelanjutan. Angka ini menunjukkan bahwa walau JC diakui secara yuridis, implementasinya masih minim.


Risiko Penyalahgunaan dan Pentingnya Pengawasan

Tentu, setiap kebijakan membawa potensi disalahgunakan. Dalam hal ini, status JC bisa dijadikan alat:

manipulasi oleh pelaku utama demi mendapat keringanan,

komoditas tawar-menawar politik dan hukum,

dan diskriminasi karena hanya pelaku yg “punya akses” yg bisa memanfaatkan skema ini.

Untuk itu, penting adanya mekanisme verifikasi yg objektif, independen, dan transparan. Proses penilaian tidak bisa semata diserahkan ke satu lembaga tanpa akuntabilitas publik.

Catatan Filosofis: Negara dan Jalan Pulang bagi Pelaku

Dalam pendekatan hukum pidana modern, keadilan tidak berhenti pada hukuman. Ia juga berbicara tentang pencegahan dan pemulihan, tentang ruang bagi pelaku yg ingin bertanggung jawab dan membantu negara menegakkan keadilan lebih luas.

Justice collaborator bukan bentuk pengampunan, melainkan bagian dari strategi hukum untuk menembus struktur kejahatan yg tertutup. Negara harus mampu membedakan antara pelaku oportunis dan pelaku yg berkomitmen memperbaiki dampak kejahatan.


Penutup

PP 24 Tahun 2025 memberi arah baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Tapi efektivitasnya hanya akan terlihat jika:

aparat benar² memahami dan menerapkannya secara adil,

masyarakat mendapat edukasi hukum yg cukup,

dan semua pihak bersinergi menjaga integritas prosesnya.

Keadilan tidak datang dari bunyi palu sidang, tapi dari keberanian membuka kebenaran, meskipun kebenaran itu datang dari pelaku itu sendiri.


  • Penulis adalah Advokat, Pendiri Red Justicia Law Firm, Pengamat hukum,Aktivis dan pejuang keadilan untuk rakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *